SHARE

istimewa

CARAPANDANG.COM -Kepala Grup Departemen Kebijakan Sistem Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Dudi Dermawan menyebut kolaborasi pemerintah dengan penyedia jasa finansial berbasis teknologi (fintech) menjadi salah satu dasar penilaian bagi Indonesia sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF).

"Kolaborasi pemerintah dengan pelaku usaha fintech menjadi penting sebagai salah satu penilaian apakah Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keamanan, dan pelaku fintech sudah comply dengan standar anti pencucian uang," katanya dalam konferensi pers tentang Indonesia Fintech Summit ke-4 yang dipantau di Jakarta, Senin.

Ia pun berharap Indonesia bisa menjadi anggota FATF pada 2022 ini, karena dari keseluruhan anggota G20, hanya Indonesia yang belum menjadi anggota FATF.

Adapun BI telah memperketat aturan terkait Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT), termasuk aturan untuk penyedia jasa finansial berbasis teknologi yang telah dimulai dari perizinan usaha.

"Jadi setiap teman yang mengajukan izin, misalnya akan menerbitkan dompet elektronik atau menjadi penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran, mereka harus comply dengan ketentuan Peraturan BI yang sudah kita buat," katanya.

Terkait APU PPT, BI telah mewajibkan Penyedia Jasa Pembayaran (PHP) untuk patuh terhadap prinsip APU PPT, menyelenggarakan customer due diligence, mewajibkan pelaku usaha mengidentifikasi dan verifikasi data pengguna, melakukan pengawasan berbasis risiko, hingga mengenakan sanksi bagi pelanggar ketentuan BI.

Bagi penyedia jasa keuangan yang tidak memenuhi ketentuan BI, mereka tidak akan mendapatkan perizinan berusaha.

"Saat FATF datang ke kita, mereka melihat kita sudah comply dengan ketentuan mereka. Saat update profil, saat akan transaksi, industri fintech dapat melihat siapa pengguna yang berkaitan dengan APU PPT," katanya.



Tags
SHARE